Judul : NEGERI 5 MENARA
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Produser : Salman Aristo
Aoura Lovenson Chandra
Dinna Jasanti
Penulis :
Salman Aristo
Pemeran dan
tokoh : Ikang Fawzi >> Kyai Rais
Lulu Tobing >> Amak
David Chalik >> Ayah
Donny Alamsyah >> Ustad Salman
Ariyo Wahab >> Alif dewasa
Gazza Zubizareta >> Alif remaja
Billy Sandy >> Baso remaja
Ernest Samudra >> Said remaja
Rizki Ramdani >> Atang remaja
Jiofani Lubis >> Raja remaja
Aris Putra >> Dulmajid remaja
Eriska Rein >> Sarah
Andhika Pratama >> Fahmi (Santri senior)
Mario Irwinsyah >> Iskandar (Santri senior)
Sakurta Ginting >> Randai
Lulu Tobing >> Amak
David Chalik >> Ayah
Donny Alamsyah >> Ustad Salman
Ariyo Wahab >> Alif dewasa
Gazza Zubizareta >> Alif remaja
Billy Sandy >> Baso remaja
Ernest Samudra >> Said remaja
Rizki Ramdani >> Atang remaja
Jiofani Lubis >> Raja remaja
Aris Putra >> Dulmajid remaja
Eriska Rein >> Sarah
Andhika Pratama >> Fahmi (Santri senior)
Mario Irwinsyah >> Iskandar (Santri senior)
Sakurta Ginting >> Randai
Alif (Gazza Zubizareta) adalah seorang anak sederhana yang
baru saja lulus SMP di Maninjau. Bersama sahabatnya Randai (Sakurta Ginting),
Alif ingin melanjutkan SMA di kota Bandung dan kemudian masuk ke Kampus
idamannya, ITB. Namun mimpi tinggal mimpi ketika Amaknya (Lulu Tobing)
menginginkan Alif untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah pesantren di sudut
Ponorogo, jawa Timur. Walau pada awalnya Alif tidak mau, akhirnya Alif memenuhi
pinta orang tuanya, walau dengan setengah hati.
Saat Alif tiba di Pondok Madani bersama Ayah (David Chalik),
hatinya makin remuk. Tempat itu benar-benar makin ‘kampungan’ dan mirip penjara
di matanya. Ditambah lagi dengan keharusan mundur setahun untuk kelas adaptasi.
Alif menguatkan hati untuk mencoba menjalankan setidaknya tahun pertama di
Pondok Madani ini.
Awalnya, Alif lebih sering menyendiri. Namun, seiring
berjalannya waktu, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya,
yaitu Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said
(Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid
(Aris Putra) dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara masjid dan
menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik menara.
Suasana kian menghangat di kelas pertama, saat Alif disentak
oleh teriakan penuh semangat dari Ustad Salman (Donny Alamsyah): Man Jadda
Wajada! Artinya, Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. “Mantra”
ini lah yang menambah semangat dan kegigihan keenam anak itu.
Para sahibul menara selalu berpikir visioner dan
bercita-cita besar. Mereka masing-masing memiliki ambisi untuk menaklukan
dunia. Dari tanah Indonesia, Amerika, Eropa, Asia hingga Afrika. Dibawah menara
Madani, mereka berjanji dan bertekad untuk bisa menaklukan dunia dan mencapai
cita-cita; Dan menjadi orang besar yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Saya
mengerti mengapa Alif (Gaza Zubizareta) enggan menerima tawaran kedua orang
tuanya (David Chalik dan Lulu Tobing) untuk melanjutkan pendidikan selepas
sekolah menengah pertama ke pesantren daripada sekolah umum. Banyak pandangan
tak sedap yang tersampir di pesantren dengan segala keterbatasannya. Pada
akhirnya Alif mengalah dan meninggalkan kampung halamannya di Maninjau,
Sumatera Barat dan menimba ilmu di sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur,
bernama Pondok Madani pimpinan Kyai Rais (Ikang Fawzi). Di sana ia menjalin
persahabatan dengan lima anak lainnya, Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang
(Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja
(Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura. Mereka
kemudian dijuluki sebagai Sahibul Menara dan memiliki cita-cita tinggi untuk
masa depan mereka dengan berlandaskan semangat yang dilantangkan oleh salah
satu pengajar, Ustad Salman (Donny Alamsyah), Man Jadda Wajada! Siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Demikianlah hikayat yang diusung oleh
film berjudul Negeri 5 Menara, buah karya terbaru dari Affandi Abdul Rahman
(The Perfect House).
Negeri 5 Menara adalah film yang menyusul film-film seperti
Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta sebagai barisan film yang diangkat dari
novel populer. Dengan modal jumlah pembaca setia yang melimpah sudah dapat
dipastikan jika film ini pun (mungkin) akan menyusul kesuksesan film-film
tersebut. Uniknya, Negeri 5 Menara pun memiliki Salman Aristo yang berperan
sebagai penulis skenario dari novel karya Ahmad Fuadi tersebut, sebagaimana
dulu ia mengadaptasi novel-novel seperti Laskar Pelangi atau Ayat-Ayat Cinta.
Dengan jam terbang cukup tinggi dalam menangani film-film adaptasi, tentu saja
kita bisa berharap lebih kepada alur kisah film ini. Sedang bagi Affandi Abdul
Rahman ini adalah film adaptasi novel pertamanya dan sulit untuk bisa meraba
apakah dirinya akan mampu menerjemahkan isi novel, baik cerita maupun esensi,
dengan proporsional.
Setelah menyaksikan filmnya langsung, ternyata hasilnya
lumayan juga. Filmnya menghibur. Pace yang berjalan dalam tempo sedang memberi
waktu bagi kita yang tidak pernah membaca novelnya untuk dapat mencerna
karakter-karakter juga kisah mereka. Bahkan dipastikan penonton yang sangat
awam sekali dengan cerita dalam Negeri 5 Menara akan dapat mengikuti alurnya
dengan mudah karena nyaris tidak terjadi sesuatu yang benar-benar signifikan
dalam perkembangan plot. Film hanya mencoba menggambarkan kehidupan enam remaja
ini di dalam pesantren tanpa ada urgensi untuk memberi “misi” agar terjadi intensitas
di dalam dinamika cerita. Menjelang akhir, barulah mereka dilibatkan dalam
sebuah “tugas” yang kemudian dapat “diperdayakan” sebagai kilmaks cerita.
Kelemahannya, Negeri 5 Menara bukanlah jenis film yang inspiratif, sebagaimana
Laskar Pelangi misalnya, terlepas dari adanya anggapan doktrin pedagogi yang
mengukur keberhasilan dengan pencapaian pendidikan tertinggi di luar negeri.
Memang, pada akhirnya tujuan para karakter adalah untuk
mencapai kesuksesan yang ditandai dengan niat mengunjungi lima buah menara
terkenal yang terdapat di berbagai penjuru dunia. Mengapa lima menara alih-alih
enam? Jawabannya dapat ditemukan dalam film ini. Sayangnya film tidak
benar-benar menunjukkan “kerja keras” mereka untuk mencapai “prestasi”
tersebut. Kita hanya disajikan semacam rangkaian fragmen yang nyaris tanpa
konflik yang berarti untuk memancing emosi yang mendalam, kecuali beberapa riak
kecil di jalan menuju penghujung cerita. Lempangnya plot didukung pula dengan
datarnya kualitas akting para pemain utamanya. Namun ini dapat dimaklumi
mengingat mereka adalah nama-nama baru yang kemungkinan baru sekali ini
menjajaki dunia akting, dengan pengecualian Billy Sandy yang berperan sebagai
Baso yang tampil cemerlang dan sangat meyakinkan. Untunglah kehadiran nama-nama
beken sebagai pemain pendukung menghapus dahaga di tengah kualitas akting yang
kerontang, sehingga dinamika film tidak menjadi terlalu kaku.
Negeri 5 Menara bukanlah film yang istimewa. Secara teknis
juga tidak luar biasa. Tapi saya mengerti jika para penonton kemudian dapat
menikmati film ini. Karena bagaimana pun sebuah kesederhanaan itu biasanya
selalu lebih mudah untuk dipahami dan juga dinikmati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar